Welcome Pontianak Centre

Senin, 25 Oktober 2010

Setop Alih Fungsi Lahan



 


PONTIANAK – Sekitar 150 Mahasiswa Pecinta Alam se-Indonesia menggelar aksi di Tugu Digulis, Jalan Ahmad Yani, Pontianak pada Senin (25/10). Mereka meminta pemerintah menghentikan alih fungsi lahan dengan tidak lagi memberikan izin perkebunan kelapa sawit. Aksi juga meminta Peraturan Gubernur Kalbar 34/2007 tentang Pedoman Penerbitan Izin Usaha Perkebunan dan kebijakan serupa di kabupaten/kota ditinjau ulang. Massa juga meminta perkuatan hak kuasa atas lahan yang dimiliki masyarakat, serta menghentikan kriminalisasi dan represifitas oleh aparat keamanan terhadap untuk mempertahankan hak kuasa atas tanah.

Setelah menggelar orasi di Tugu Digulis, dilanjutkan ke kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Kalbar. Aksi yang dimulai dari pukul 09.00 berakhir pukul 13.30. Sempat terjadi keributan di kantor DPRD Kalbar karena di gedung tersebut sedang berlangsung sidang paripurna. Massa adu mulut dengan pihak kepolisian karena perwakilan dari DPRD tidak kunjung keluar setelah satu jam lebih mereka berada di kantor gubernur. Dari pukul 12.00, mereka tiba di gedung DPRD, sekitar pukul 13.15. Mereka dapat berbicara dengan anggota DPRD yang saat itu diwakilkan Zulkarnain Siregar, M . Jimmy. Menurut Muksin, Humas Aksi, dewasa ini permintaan pasar internasional akan minyak sawit terus meningkat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kegunaan minyak sawit yang menjadi salah satu bahan baku untuk industri pangan dan industri kosmetik.

Belum lagi mulai saat ini sedang dikembangkan minyak sawit untuk industri energi sebagai pengganti dari fosil. Meningkatnya kebutuhan bahan baku industri dipasaran internasional tidak dapat dilepaskan dari permintaan negara-negara industri untuk menggerakkan roda ekonominya yang sedang mengalami krisis.
Karena negara tersebut mendominasi ekonomi politik internasional, maka untuk memastikan ketersediaan bahan baku minyak sawit dengan menjadikan negara-negara koloninya sebagai pemasok.

“Ketidakjelasan untuk mengalih fungsi lahan, terutama dalam pengalihan hutan lindung menjadi hutan produksi dengan didukung berbagai kebijakan menteri yang diturankan ke pemerintahan daerah semakin memudahkan jalur masuknya investasi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran, sehingga di wilayah Kalimantan Barat telah tercatat 378 perusahaan kelapa sawit yang terdaftar sementara hanya 82 perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha perkebunan,” katanya. Kemudian dampak yang terjadi adanya monopoli tanah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengakibatkan adanya bentuk perampasan tanah masyarakat terutama masyarakat adat.

“Masalah lainnya seperti penebangan liar, penyelundupan. Luasnya kawasan hutan yang telah rusak. Penegakan hukum yang lemah. Kualitas SDM rendah. Belum ada perencanaan yang konkret dan terpadu untuk menangani perbatasan. Kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat terkait perluasan perkebunan kelapa sawit. Nasionalisme dan idealisme yang semakin luntur. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Indonesia dalam hal ini Kalimantan dengan di Sarawak dan Sabah, Malaysia,” tegasnya.

Jimmy, ketua Komisi B DPRD Kalbar menyambut baik kedatangan Mapala dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Terkait masalah kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalbar, ia menjelaskan Kalbar 2010 akhir akan menyelesaikan segera tata ruang. Ia menilai lingkungan saat ini memang sudah terdesak untuk segera dilakukan perbaikan. Zulkarnaen Siregar, anggota DPRD Kalbar lainnya, menambahkan, akan menjadi audiens mempertemukan mapala yang ada di seluruh Indonesia dengan beberapa dinas terkait sepeti dinas kehutanan dan dinas pertanian berdasarkan permintaan mahasiswa tersebut. “Kita juga sudah meminta dan menyampaikan keluhan agar kementrian merevisi beberapa undang-undang yang merugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar