Banyak cara mengungkapkan pesan. Dalam memaknai momentum hari bersejarah. Mulai demonstrasi hingga unjuk seni. Semua menyuarakan tentang kondisi bangsa. Bagaimana dengan kritikan melalui pendekatan budaya? Kenapa teatrikal yang dipilih dibanding unjuk rasa?
Pontianak,
SEMUA bersemangat. Menggelorakan kebangkitan pemuda. Meski Sumpah Pemuda telah 82 tahun lalu. Aktivis mahasiswa tetap mengenang bahwa sumbangsih pemuda Indonesia menjadi ukiran bingkai jalan kemerdekaan. Tapi realitas bangsa seakan jauh dari keinginan semula pemuda yang bersumpah 28 Oktober 1928.
Mereka tidak ingin sebuah perjalanan bangsa dilupakan atau tutup buku. Semangat ingin memerdekakan bangsa dari keterjajahan imperialisme harus tetap diingatkan. Supaya rakyat benar-benar merdeka. Atas segala hak sebagaimana cita-cita sumpah pemuda. Dengan menggalang semangat persatuan untuk mencapainya.
Wajah penuh ekspresi. Semua mengabarkan tentang semua sumpah pemuda. “Kami dari Fisip,” kata Aji, Kamis (28/10) di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura. Ia beserta puluhan mahasiswa Fisip Untan lain menjadikan bundaran sebagai panggung teater jalanan. Dengan menggelar aksi teatrikal peringatan Sumpah Pemuda.
Dalam teatrikalnya semua lapisan masyarakat diperankan. Meski tampak terkesan sederhana. Tapi pesan yang disampaikan sangat menggigit. Bahwa masyarakat lapisan strata paling bawah jadi perahan dan bulan-bulanan tumpuan kesalahan. Kebijakan menjauhi mereka. Apalagi keberpihakan. Sama sekali tidak ada. Suara rakyat kecil tidak mendapat gubrisan. “Peringatan Sumpah Pemuda 2010 mahasiswa Fisip sengaja tidak menggelar demonstrasi atau unjuk rasa. Kami memilih teatrikal. Walau sifatnya masih bernuansa jalanan. Sebab kami ingin menerapkan pola kebudayaan. Bahwa kebudayaan sangat mempengaruhi kondisi masyarakat. Ini yang ingin kami gali,” kata Aji.
Sambil membaca skenario teatrikal yang ditampilkan, Aji menuturkan. Banyak contoh bahwa mengambil jalan pendekatan kebudayaan sangat berpengaruh besar. Menurut dia, era Orde Baru karya seni berupa kebudayaan rakyat banyak dilarang. “Misal lagu genjer-genjer atau karya buku karya sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer dilarang peredarannya,” kata Aji.
Pembicaraan terus mengalir. Sementara mahasiswa Fisip yang didaulat sebagai pemeran di teatrikal semakin bersemangat. Ketika diperdengarkan bait-bait sumpah pemuda. Yang dibacakan seorang mahasiswa menggunakan sebuah megaphone. Semangat mahasiswa Fisip menyuarakan ketimpangan sosial masyarakat tak luput dari penjagaan aparat keamanan. Puluhan polisi berseragam dinas maupun sipil terus mengawal aksi teatrikal hingga usai. Bahkan tampak diantara mereka ikut menikmati suguhan karya mahasiswa Fisip tersebut.
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Dwi Agus Muharya, Fisip Untan mengungkapkan sedikitnya tujuh puluh mahasiswa dari jurusannya terlibat dalam aksi teatrikal. Ia menambahkan, melalui teatrikal, pihaknya ingin menyuguhkan kritikan yang bisa membuka kesadaran bersama. Bahwa perampasan hak masyarakat selaku warga negara sering terjadi. Perampasannya secara struktural. Melalui kebijakan yang pemerintah hadirkan. “Berapa luas tanah telah asing kuasai melalui izin perkebunan. Atau aktivitas pertambangan. Dan praktik korupsi serta politik daging sapi yang makin subur,” kata Dwi seraya menjelaskan, semua pemeran dalam teatrikal berlatih seminggu penuh di kampus sebelum tampil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar